Ahlan Wasahlan bi Qudumikum ila Hadzal-Blog

Selamat Datang di Blog Hikam dan Linguistik Arab. Bersama kita bisa diskusi mengembangkan wacana Al Hikam dan dunia bahasa Arab

Rabu, 14 Juli 2010

Hajatmu Bikinan Allah, Hanya Allah Yang Mampu Mengatasinya


Selanjutnya orang yang sudah mulai sadar untuk mendekat kepada Allah akan mengalami berbagai macam reaksi seperti yang telah diterangkan. Karena dia merasa selalu dekat kepada Allah dia merasa tidak tega bila sampai memperkecil permintaan yang hanya sepele-sepele. Orang yang bercita-cita ingin bertemu bosnya dia tidak akan rela bila hanya ditemui satpamnya. Pokok saya harus bertemu boss sampean. Karena memang ia mepunyai himah, cita-cita sangat tinggi. Sudahlah, sampean tidak akan mampu menyelesaikan soal saya. Yang bisa menyelesaikan hanya boss sampean. Pasti begitu. Ini pertama.

Apa sebabnya? Karena sudah menjadi watak setiap orang, sebelum mencapai cita-citanya pasti mencari sebab dari cita-cita itu. Contoh orang mikir secara umum, sementara, agar orang bisa hidup enak harus tercukupi sandang, pangan, papan. Agar sandang, pangan, dan papan cukup itu butuh uang. Supaya dapat uang harus bekerja. Supaya bisa bekerja harus mepunyai modal. Supaya mempunyai modal harus mengenal orang yang mempunyai modal. Kalau ketepatan yang mempunyai modal itu orang tuanya ya tinggal meminta. Kalau yang menpunyai modal itu pihak bank ya harus lobi dengan pihak bank.

Dari situ artinya kita dipaksa untuk mengurus yang lebih rendah. Padahal tadi bercita-cita soal uang, soal sandang, pangan lan papan. Begitu itu akhirnya bisa menyembah kreditur Bank. Menyembah orang yang tukang menandatangani persyaratan pencairan modal. Bisa berbagai macam yang dilakukan. Rata-rata hati manusia bergantung pada asbab, berbagai macam sebab. Tetapi bila orang itu mulai sadar kepada pol-polane pol, La iyo, kalau sudah bilang, La iyo, sudah mulai mupus, mulai memuncak, tidak berjalan ke bawah namun ke atas. Himah-nya mulai beranjak naik. Sebenarnya orang itu kan hanya butuh makan, nyandang, mapan. Padahal makan, nyandang dan mapan yang saya alami selama ini tidak pernah lepas dari saya. Di manapun saya berada tetap bisa makan, bisa nyandang juga bisa mapan. Aku lahir procot belum bekerja, belum kenal Bank belum kenal siapapun sudah diberi popok, sudah diberi susu, sudah dapat selimut, sudah dikurung krodong agar tidak diserang nyamuk. Terus apa jasa sampean? Kok bisa mendapat fasilitas seperti itu. Kalau alasan orang agar dapat fasilitas itu harus bekerja, apabila aku ingin mendapat upah harus bekerja keras, hidup akan tercukupi. Coba saya tanya, ketika sampean belum bisa bekerja, hanya bisa menangis dan mengompol saja itu, siapa yang kamu banggakan? Kenyataannya sampean dicukupi. Cukupkan hidupmu? Terus sekarang setelah kamu bisa kroncal-kroncal, kamu masih ragu-ragu. Kok sepertinya tidak bisa hidup.

Seperti itu namanya sampean kliwatan. Lupa kepada Allah. Kalau orang sudah mulai sadar mempunyai roso, mulai ada pemahaman, karena bashiroh-nya mulai melek. Dia sudah mulai yakin, bahwa Allah menata sembarang kalir itu tepat. Dia tidak mau apabila menggantungkan semua persoalannya kepada selain Allah. Mulai kenal kok. Sebelumnya dia merasa bahwa dia yang memberi rokok itu satpam-nya. Ah ternyata rokok satpam itu dari atasannya. Dari atas satpam, bagian personalia. Terus kenal lebih tinggi lagi. Personalia itu ternyata juga bukan milik sendiri. Ternyata milik bosnya, milik direkturnya. Lama-lama mengenal direkturnya. Terus setiap hari dia mijeti sang direktur. Karena sudah akrab. Asalnya dekat terus akrab. Karena akrab tahu banyak persoalan. Akhirnya dia tidak ragu lagi. Sudah saya tidak perlu lagi jadi satpam. Aku tidak perlu menjadi bagian personalia. Wong saya sudah akrab dengan bosnya. Dijadikan apa saja terserah. Wong tidak jadi apa-apa saja setiap hari sudah di cukupi kok. Dia tidak termasuk daftar di dalam daftar pegawai. Tetapi setiap hari dia pergi bersama bos. Pergi ke manapun bersama dia. Menjadi punokawan. Sandal yang memberi dia. Butuh ke warung dia yang mentraktir. Butuh rokok dia yang lari dulu membeli. Lama-lama dia wegah lapor kepada yang lain. Umpama mempunyai persoalan terus lapor satpam percuma tidak perlu lapor setiap hari saya sudah mijeti kok.

Jadi kita semua bila sudah mengenal Gusti Allah lama-lama wegah, berbicara sambat kepada orang tidak mau. Paling sambat disaingi sambat. Sama saja. Anu lo yu, ponakanmu libur puasa pulang semua. Semua minta uang begitu banyaknya. Dan saya pas tidak pegang uang. Tolong saya dipinjami uang. Gak banyak kok, paling Rp 300.000,- sampai Rp 400.000,- untuk sak budalan kuliah saja.

Jawabannya ternyata, O, alah dik-dik, kamu itu kok gak merasakan. Malah disaingi sambat. Sambat kok sama-sama krucuknya. Sampean itu bagaimana to. Sebenarnya sejak kemarin saya ingin memberi tahu kamu, tapi tidak jadi. Saya sekarang juga sedang bingung keponakanmu yang pergi ke Malaysia itu, bisa daftar-kan membawa uang Rp 8 juta itu yang pinjaman. Sekarang yang dihutangi menagih saya. Sekarang saya kedandapan, gelang kalung wis tak protoli masih belum cukup. Akhirnya, orang kurang bertemu orang kurang menjadi double kurang. Orang sambat bertemu orang sambat menjadi sambat kuadrat.

Itulah nasibnya orang yang lapor kepada orang yang tidak begitu loman. Oleh karena itu Syekh Ahmad Ibnu Athoilah mengingatkan lagi

(36) لاَ تَرْفَعَنَّ اِلَىغَيْرِهِ حَاجَةً هُوَمُوْرِدُهَا عَلَيْكَ فَكَيْفَ يَرْفَعُ غَيْرُهُ مَاكاَنَ هُوَ لَهُ وَاضِعًا مَنْ لاَيَسْتَطِيْعُ اَنْ يَرْفَعَ حَاجَةً عَنْ نَفْسِهِ فَكَيْفَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَكُوْنَ لَهَا عَنْ غَيْرِهِ رَافِعًا غَيْرِهِ

Artinya:
Murid, siro iku ojo ngaturake hajat siro marang liyane Alloh. Kefakiran lan balak kang siro adepi iku Alloh kang nekakake marang siro. Opo biso liyane Alloh ngilangake opo kang dideleh ono ing awak siro? Kejobo songko iku, wong kang ora biso ngilangake hajate sangking awake dewe naliko hajat iku temurun, opo biso ngilangake sangking wong liyo?

La tarfa’anna: ojo pisan-pisan ngelaporno temen sopo siro. Anak pondok mengatakan bahwa lafadz ini menggunakan nun tauqid, menunjukkan kesungguhan. Temenan ojo pisan-pisan. Kowe nglaporno, ila ghoirihi: maring liyane Alloh. Nglaporno opo, hajatan: ing kebutuhan. Sing, huwa: kang utawi Alloh. Iku, muriduha: dzat kang nibakno, kang nekakno hajat mau. Alaika: ing ngatase siro. Kamu dikrentegno Alloh, dipekso Alloh, dilebokno Alloh ke dalam satu keadaan, dalam satu posisi yang kamu butuh. Siapa sebenarnya yang menceburkan kamu ke situ? Gusti Allah. Kok tahu-tahu kamu butuh rizqi. Sing mepetno kamu sehingga kamu butuh itu siapa? Siapa yang mendesak kamu sehingga kamu dalam posisi sangat butuh? Gusti Allah. Kalau kamu sadar bahwa sing mepetno sampean itu Gusti Allah. Fakaifa: mongko koyo opo. Yarfa’u: biso ngagkat, nglapurno. Sopo, Allahu: Alloh. Lahu: maring barang. Iku, wadzi’an: sing nyelehno. Diibaratkan hajat itu batu besar yang ditimpakan kepadamu. Kalau yang ngeblegno batu besar yang diberi tulisan HAJAT tadi Allah, terus kamu berteriak-teriak minta tolong kepada selain Allah untuk mengangkatnya apa mampu? Tidak akan kuat. Bagaimana, wong sing ngeblegno Gusti Allah kok yang kamu suruh mengangkat selain Allah. Padahal kamu sudah sepakat, katanya sudah yakin bahwa tidak ada yang kuat selain Gusti Allah. La kok kroco-kroco sama-sama manusianya kamu sambati. Ora iso - ora iso. Sudahlah, sampean ngeloni anakmu semalam suntuk supaya selamat darahnya masih dicuri nyamuk. Kok sampean sambat kepada ibumu, padahal ibumu itu nulungi sampean perkoro dicuri nyamuk saja tidak ngatasi. Perkoro dicolong nyamuk itu lo ibu dan bapak tidak bisa ngatasi.

Kenyataannya, ma’af ini, anaknya orang yang sugih anyaran. OKB, orang kaya baru, biasanya kemenyek. Kaki anaknya tidak boleh menyentuh tanah. Kaki anaknya yang kecil selalu dibungkus sepatu agar tidak masuk angin. Pokoknya sendok makannya khusus, tidak boleh sendoknya campur-campur dengan sendok anak lain. Supaya tidak alergi. Tetapi malah sering pergi ke dokter. Berarti kan tetap kecolongan. Tidak bisa.

Man: utawi sopo wong. Iku, la yastatiu: ora kuwoso sopo wong. Ora kuwoso, an yarfa’a: yento ngilangi sopo wong. Ngilangi, hajatan: ing kebutuhan. An nafsihi: saking awak dewene wong. Selain Allah itu mengatasi kebutuhan sendiri saja tidak bisa. Fakaifa: mongko koyo opo. Yastati’u: kuwoso sopo wong. Kuwoso, an yakuna: yento ono. Laha: maring hajat. An ghoirihi: saking liyane wong. Iku, rofi’an: biso ngangkat.

Kalau orang itu mengangkat apa yang ada pada dirinya saja tidak bisa, bagaimana bisa menyelesaikan persoalan orang. Kalau sampean sendiri sudah gelap gulita, peteng ndedet lelimengan gendadapan, mencari jalan saja belum ketemu, kok akan menuntun orang ki lo, tidak bisa.


اِذَا أَوْرَدَاللهُ تَـعَالَىعَلَيْـكَ حَاجَةً أَوْ أَنْـزَلَ بِكَ نَازِلَةً فَاعْلَمْ اَنَّهُ لاَرَافَعَ لَهَا سِـوَاهُ
Artinya:
Ketika Alloh Ta’ala mendatangi hajat kepadamu atau menurunkan bencana kepadamu, maka yakinilah bahwa tidak ada yang bisa menghilangkannya kecuali Allah SWT.

Maka, idza auroda: tetkalane wus nekakaken. Sopo, Allahu Ta’ala: Gusti Alloh Ta’ala. Alaika: ing ngatase siro. Nekakaken, hajatan: ing butuh. Karena yang namanya butuh dan tidak butuh itu datangnya sewaktu-waktu. Siapa yang mendatangkan itu semua? Gusti Allah. Terus Allah itu menghilangkan butuh itu mudah sekali kok. Sampean diberi lupa begitu saja sudah menjadi tidak butuh kok. Sebenarnya sejak tadi sampean sudah klepekan butuh rokok. Masya Allah, sampai asbak itu dicari puntung- puntungnya. Tetapi tiba-tiba ibunya berteriak, pak, pak ikilo anake mencret. Begitu itu terus sampean gedandapan lupa tidak butuh rokok lagi. Sebenarnya mulut sudah kecut sekali karena sudah lama tidak menghisap rokok. Tetapi tahu-tahu di TV ada lagu dangdut terbaru didendangkan. Terus ndlongop melihat TV tidak jadi rokokan. Ternyata menghilangkan butuh tidak harus kebutuhan itu terpenuhi, belum tentu. Kalau Gusti Allah yang mengatur bisa begitu itu. Kalau yang mengatur sampean ya tidak bisa. Aku butuh Rp. 100 Juta. Berarti Rp. 100 Juta harus datang. Tidak harus. Kamu butuh obat ketika sakit. Kalau tanpa obat sakitmu sudah dihilangkan. Kan tidak butuh obat lagi.

Au anzala: utowo nurunaken sopo Alloh. Bika: kelawan siro. Nurunaken, nazilatan: ing bilahi kang temurun. Fa’lam: mongko yakino sopo siro. Anhu: sak temene kelakuan. Iku, la rofi’a: ora ono kang biso ngilangi iku maujud. Laha: marang hajat, utowo bilahi kang tumurun mau. Ora ono kang biso ngilangi, siwahu: sak liyane Alloh.

Yakinlah, bila sampean ketiban butuh atau ketiban bilahi, bahwa ini tidak ada yang bisa menyelesaikan kecuali Allah SWT. Karena menurut orang yang menantang, kopat-kapito koyo buntute ulo tapak angin, ke kejerono koyo manuk branjangan, nyungsang jempaliko koyo kitiran, tapi yang namanya Buto Cakil tetap kalah dengan dalangnya. Sudah alah, ngglonjomo, bodo-o koyo petruk, tetapi bila Ki Dalang menghendaki petruk menjadi ratu, ya bisa menjadi ratu. Itu harus diyakini.


اِذْ يَسْتَحِلُ أَنْ يَرْفَعَ غَيْرُهُ مَاكَانَ هُوَلَهُ وَاضِعًا لِثُـبُوْتِ تَوْحِيْدِهِ فىِ أَنْ لاَفَاعِلَ سِوَاهُ

Artinya:
Karena mustahil bila selain Allah bisa menghilangkan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Allah karena sudah tetap di dalam ke-Esa-an Allah bahwa tidak ada yang bisa berbuat selain Allah.

Idz yastahilu: kerono mustahil. Opo sing mustahil, an yarfa’a: yen to biso ngilangi. Sopo sing biso ngilangi, ghoiruhu: liyane Alloh. Ngilangi opo, ma: ing barang. Kana: kang ono sopo Alloh. Huwa: yo Alloh. Lahu: maring barang. Ono iku, wadzian: nyelehaken. Karena mustahil, sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Allah, orang lain tidak mungkin bisa menghilang- kannya. Sampean berkaca, kemudian di depanmu ada bayang-bayang, sampean hilangkan tidak bisa. Itu sudah ditetapkan oleh Gusti Allah. Kurang sederhana lagi, perkoro klilipen saja, kalau terlanjur sulit dihilangkan, ya sulit betul. Sudah diuyek-uyek rambute bojone yang katanya ada magnetnya juga masih tidak bisa hilang. Umpama hilang bukan karena rambut, tapi karena dihilangkan Gusti Allah.

Mengapa kok mustahil, li tsubuti tauhidihi: kerono wus tetepe olehe nyuwijeakene Allah. suwiji, ijen, fi an: ing ndalem sak temene kelakuan. Iku, la faila: ora ono kang agawe iku maujud. Siwahu: sak liyane Gusti Alloh.

Karena sudah menjadi keputusan, bahwa hakekatnya pekerja yang membuat, sing gawe apa saja itu hanya Allah SWT. Manusia yang kelihatan pating kemlawe itu hanya wayang. Kalau ada Buto Cakil ditempeli kerisnya Abi Manyu, terus Buto Cakilnya mengkis-mengkis, itu hanya pokal gawene dalang. Sebenarnya, Abi Manyu-nya tidak bisa apa-apa. Kalau ada panah melesat dari tangan Abi Manyu itu juga pekerjaan dalang. Wong panah itu sama sekali tidak menempel pada tangan Abi Manyu. Kok. Hanya kelihatan ditempelkan oleh dalangnya, begitu saja. Jadi sampean bisa memberi makan anak, membesarkan anak, ngupokoro anak itu, itu semua pokok gawene dalang, yang dikatakan pada janturan Pangeran wayang, bahwa ini mempunyai anak ini, ini bisa memberi rizqi ini, ini bisa ngramut ini, itu hanya janturan dan unen-unen saja, tetap sebenarnya mereka tidak bisa apa-apa.

Itu sudah mutafaqun alaihi, artinya sudah disepakati, asal hati orang itu waras, syaratnya hatinya waras. Orang Islam apa bukan pasti percaya bahwa ini semua bikinan Gusti. Jika tidak begitu berarti ora waras. Artinya ada faktor lain yang membuat dia berkata tidak begitu. Jika hati nuraninya waras pasti berkata bahwa ini semua dari Yang Maha, embuh terserah namanya apa. Kalau orang Islam namanya Allah. Kalau lainnya ya Shang Hyang Widi atau Shang Hyang opo kono. Tetapi maknanya itu ekspresi, penampilan bahwa semua ini tidak ada yang menciptakan, yang membuat, yang mengerjakan, selain Allah.

وَاِذْهُوَغَالِبٌ عَلَىأَمْرِهِ لاَيُغَالِبُهُ أَحَدٌ
Artinya:
Ketika Allah telah menang atas segala perkaranya maka tak seorangpun yang mampu mengalahkan-Nya.

Wa idz huwa: lan tetkalane utawi Alloh. Iku, gholibun: wus menang. Ala amrihi: ingatase perkarane Alloh. La yugholibuhu: mongko ora ono kang biso ngalahaken. Hu: ing Alloh. Sopo, ahadun: wong suwiji.

Kalau sudah begitu, siapa yang bisa mengalahkan. Tidak bisa, mau atau tidak ya harus begitu.

وَيَسْتَحِلُ أَيْضًا أَنْ يَرْفَعَهَاعَنْكَ مَنْ لاَيَسْتَطِيْعُ أَنْ يَرْفَعَهَاعَنْ نَفْسِهِ لَوْنَزَلَتْ بِهِ لِثُبُوْتِ عَجْزِهِ وَضَعْفِهِ

Artinya:
Dan tidak masuk akal pula bila orang yang tidak mampu menghilangkan hajat dirinya karena dia tak berdaya, akan menghilangkan hajat dari diri anda.

Wayastahilu: lan mustahil, tidak masuk akal. Aidlon: halih malih. Opo sing mustahil, an yarfa’a: yento ngilangaken. Ha: ing hajat mau. Anka: saking siro. Sopo sing mustahil ngangkat, man: wong. La yastati’u: kang ora kuwoso sopo wong. Ora kuwoso, an yarfa’a: yento ngilangaken sopo wong. Ha: ing hajat. Diilangno, an nafsihi: saking awake dewe. La wong nguculi kebulete hajat teko awake dewe wae ora biso kok, akan mengatasi hajat yang ada pada orang lain. Lau nazalat: lamuno temurun opo hajat. Bihi: kelawan wong kang ora kuwoso mau. Apa sebabnya, litsubuti ajzihi: kerono wus tetepe apese wong. Wa dzo’fihi: lan tegese tetepe apese wong.


وَمِنَ الْمُحَالِ تَعَلُقُكَ فىِحَاجَتِكَ بِمَنْ هُوِ مُحْتَاجٌ مِشْلُكَ.

Artinya:
Dan termasuk hal yang tidak masuk akal lagi bila engkau menggantungkan hajatmu kepada orang yang masih menangggung hajat seperti kamu.

Wa minal muhali: lan iku setengah barang kang muhal. Opo, ta’aluquka: utawi olehe gumantung siro. Fihajatika: ing ndalem olehe kebutuhan siro. Gemantung, bi man: kelawan wong. Huwa: kang utawi wong. Iku, muhtajun: yo butuh. Mitsluka: madani siro.

Mustahil, orang yang masih kehausan kan minta minuman. Tidak mungkin dia akan menuruti kemaremanmu. Dia sendiri haus sedangkan airnya hanya setengah gelas. Padahal kamu butuh dua gelas. Apa bisa? Tidak bisa. Maka ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa barang siapa yang bergantung kepada orang lain, artinya mempunyai pengharapan yang kuat, terlalu optimis kepada selain Allah, maka dia tertipu, oleh harapannya sendiri. Pasti dia akan kecewa. Karena yang membuat kebutuhan itu Allah. Dan bila kita sudah menempel kepada kebutuhan pasti akan brentek. Sampean diberi sepeda motor, bukan berarti sampean terus tidak butuh. Tetapi malah semakin butuh. Butuh bensin, butuh oli, butuh ban, butuh rante, butuh busi. Dan jika kamu kembangkan lagi akan menjadi businya butuh bakul busi. Rantenya butuh yang jual rante. Ban-nya butuh tukang tambal ban. Padahal masih ada ketentuan lain, harus punya SIM, STNK, punya helm. Di mana asalnya, sebelum punya sepeda motor tidak butuh, setelah punya sepeda motor menjadi butuh. Bisa sampean hindari. Tidak bisa. Wong kenyataannya sampean disuruh menjual sepeda motormu juga tidak berani. Ya repot kalau saya jual sepeda saya. Padahal kebutuhannya tambah. Tetapi memang tidak bisa dihindari kok.

Oleh karena itu, yang penting kita semua bila sudah belajar suluk, hati sudah mulai sadar bahwa yang berkata hanya Allah. Ya tidak perlu kemalan wadul-lah. Minimal latihannya itu. Tidak perlu kemalan wadul kepada selain Allah. Mari kita sadari apa yang diberikan Allah kepada kita semua, dengan tetap merasa dekat kepada Allah SWT. Semoga kita mendapat pertolongan Allah sehingga bisa merasa dekat kepada Allah SWT. Amin.

Ringkasan: Tiga hal yang mustahil
1. Selain Allah akan menghilangkan ketetapan Allah.
2. Orang yang tidak mampu mengatasi hajat dirinya akan mengatasi hajat orang lain.
3. Menggantungkan hajat kepada orang yang masih berhajat

Hanya Allah Yang Maha Loman


Pada pengajian yang lalu telah dibahas dawuhipun Syekh Ahmad Ibnu Athoilah As-Sakandari yang berhubungan dengan himah, cita-cita, tujuan orang yang sudah mulai terbuka hatinya, sebagaimana kata beliau:

(35) لاَ تَتَعَدَّ نِيَّةُ هِمَّتِكَ اِلَىغَيْرِهِ فَاْلكَرِيْمُ لاَتَتَخَطَّاهُ الآمَالُ

Artinya:

Jangan lewatkan niat kepentingamu kepada selain Allah. Seberapa tinggi angan-anganmu tidak akan melebihi sifat ke-Maha Murah-an Allah.

La tata’ada: ojo ngliwati. Opo, niyatu himatika: sejane himah siro, cita-cita siro. Ngliwati, ila ghoirihi: maring liyane Gusti Alloh. Jika mempunyai himah, cita-cita, sejo itu jangan sampai kliwat sasaran kepada selain Allah. Fal Karimu: mongko utawi Dzat Kang Moho Loman. Iku, la tatakhoto: ora biso ngliwati. Hu: ing Dzat Kang Moho Loman. Opo, al-amalu: piro-piro pengangen-angen, piro-piro cita-cita, piro-piro kepinginan. Seberapa tinggi kepinginanmu, sifat loman Allah tentu masih lebih tinggi.

Katakan saja, kebutuhan sampean selama hidup itu memerlukan dana 50 triliun, kemurahan dan kelomanan Allah lebih dari itu. Tidak akan mampu melewatinya. Maka bila sampean mempunyai cita-cita mesisan, sampaikan semua. Jangan menyerah setelah jatuh. Mesisan, semua sampaikan ke Sana. Pasti akan beres semua. Cita-citamu jangan kamu kredit. Minta kepada Allah jangan sedikit-sedikit, ngincrit. Ya Alloh kulo nyuwun lulus. Setelah lulus bingung lagi. Ya Allah saya minta pekerjaan. Setelah dapat pekerjaan bingung lagi. Ya Allah saya minta naik pangkat. Setelah naik pangkat bingung lagi. Ini nanti terlalu lama. Sampean pol-ne pisan sak pol-pole. Itu nanti pemberian Allah masih keliwat di atasnya. Peparinge Alloh masih di atas apa yang kamu inginkan. Itu namanya Dzat Sing Loman. Orang yang betul-betul loman itu kalau memberi pasti di atas permintaan. Minta 100 diberi 1000. Itu loman betul. Kalau sampean minta 100 hanya diberi 50 itu masih cetil, bakhil.

Maka jika sampean sudah paham, bashiroh sampean sudah mulai terbuka walau sedikit, mulai bisa memahami sifat kelomanan Allah tidak mungkin sampean hanya bercita-cita rendah murahan, sejone mung etek egleng, mencari yang kecil-kecil. Sekedar hanya ingin enak di dunia yang cepat musnah. Mintalah sesuatu yang tidak bisa hilang musnah. Begitu maksudnya.

الْهِمَّةُ الْعَلِيَةُ تَأْنَفُ مِنْ رَفْعِ حَوَائِجِهَا اِلَىغَيْرِالْكَرِيْمِ وَلاَ كَرِيْمٌ عَلَى الْحَقِيْقَةِ سِوَاىاللهُ

Artinya:

Cita-cita luhur tidak mau melaporkan kebutuhannya kepada selain Dzat Yang Loman. Dan tidak ada yang loman secara haqiqi kecuali Allah.

Al-himmatul ‘aliyatu: utawi cita-cita kang luhur, gegayuhan kang luhur. Iku, taknafu: lumuh, lumuh iku tegese wegah, opo cita-cita luhur. Wegah, min rof’i hawaijiha: saking nglapurno kebutuhane cita-cita luhur. Ila ghoiril karimi: ing liyane Dzat Kang Moho Loman. Orang itu bila mempunyai kebutuhan yang banyak, yang tinggi pasti yang dimintai yang disambati ya pasti yang sesuai dan imbang dengan kebutuhannya itu. Kalau sampean hanya butuh uang 100 atau 200 ya cukup minta tolong tetangga kanan kiri. Tetapi kalau ada panitia masjid butuh dana 150 juta yang dimintai bantuan pasti instansi atau yayasan yang memiliki dana cukup untuk itu. Itu sudah pasangannya. Tidak mungkin kan bila panitia pembangunan masjid yang butuh dana 250 juta terus minta kepada orang kaya yang modal tokonya hanya 25 juta. Pasti memintanya kepada yang lebih tinggi. Kalau proyek itu proyek tingkat propinsi yang dimintai sumbangan ya instansi tingkat pusat.

Makanya, sekarang himah sampean seberapa tingginya. Kalau himah sampean itu hanya etek-egleng, kecil-kecilan hanya untuk memenuhi perut kalian, paling minta belas kasihan ya pada orang-orang kecil dan orang yang rendah-rendah saja. Tapi kalu yang akan sampean upayakan itu proyek hidup yang memiliki tujuan akhir slamet dunyo akherat, siapa yang akan mampu memberi? Pasti hanya Allah. Maka, kalau orang itu mempunyai himah yang betul-betul tinggi, pasti sudah tidak mau berkomunikasi dengan orang-orang kecil dan rendah. Diajak bicara tidak nyambung. Saya ini sedang memerlukan dana 250 juta. Terus yang sampean ajak bicara itu orang yang penghasilannya hanya dua ribu. Apa bisa mikir ± 250 juta? Dapat dari mana uang segitu? Gak nyandak, judeg, buntu.

Padahal bila diteliti beneran, wala karimun: lan ora ono kang luwih loman maneh. Alal haqiqoti: ing ngatase sejatine kenyataan. Siwa Allahu: sak liyane Alloh SWT. Loman yang sebener-bener loman itu tidak ada yang mempunyai, selain Allah SWT.

قَالَ اْلجُنَيْدُ رَضِىاللهُ تَعَالَىعَنْهُ الْكَرِيْمُ الَّذِىلاَيَحْوَجُّكَ اِلَىمَسْئَلَةٍ

Artinya:

Syekh Al-Junaid r.a berkata: Dzat yang loman itu yang menyebabkan engkau tidak butuh untuk meminta lagi.

Qola: wus dawuh. Sopo, Al-Junaid: Syekh Al-Junaid r.a. Apa definisi Al-Karim: Planggerane Al-Karim, orang dikatakan loman itu yang bagaimana? Orang loman itu apa yang kalau kawannya datang diberi rokok. Apa yang kalau kawannya repot dibantu. Apa hanya itu? Mari ini diperhatikan, Al-Karimu: utawi kang den arani Loman, Dzat kang den arani Loman kang sejati. Iku, aladzi: wong utowo Pengeran. La yahwajuka: kang ora mbutuhaken, kang ora ndadeaken butuh sopo Al-karim ing siro. Mbutuhno, ndadeaken butuh, ila mas’alatin: maring njaluk maneh. Orang loman itu apabila memberi, yang meminta sudah tidak butuh lagi. Itu orang loman beneran. Kalau Pak nyuwun sak paring-paring, yang keluar hanya Rp.1000,- wah ya masih kurang. Berarti yang memberi belum loman. Orang loman itu kan memberi yang butuh sudah tidak perlu meminta lagi. Apa sampean sudah pernah bertemu orang seperti ini? Itu orang loman beneran.

وَقَالَ الْحَدِثْ الْمُحَاسِبِى رَضِىَاللهُ تَعَالَىعَنْهُ الْكَرِيْمُ الَّذِى لاَ يُبَالِى مَنْ أَعْطَى

Artinya:

Syekh Al-Harits Al-Muhasibi berkata: Orang loman adalah orang yang tidak peduli terhadap orang yang pernah diberi.

Wa qola: lan wus dawuh. Sopo Al-Muhasibi r.a: Al-Muhasibi dalam rangka mendefinisikan loman. Al-Karimu: utawi kelomanan, loman sing sejati. Iku, Al-ladzi: wong utowo Dzat. La yubali: kang ora merduli sopo wong utowo Dzat. Ora merduli, man: ing wong. A’tho: kang wus paring sopo ladzi ing wong kuwi mau. Itu definisi loman. Orang loman itu orang yang sudah tidak ngreken siapa yang diberi, tidak peduli. Yang minta itu orang baik apa orang jelek. Yang minta itu musuhku apa kawanku. Yang minta itu anak kecil apa orang tua, tidak pernah dihitung. Asal meminta diberi, meminta diberi. Bahkan terkadang belum meminta sudah diberi. Belum meminta sudah diberi ini orang loman beneran. Ada lagi definisi yang lain.

وَقِيْلَ الْكَرِيْمُ الَّذِى لاَيُخَيِّبُ رَجَاءَ الْمُؤَمِلِيْنَ

Artinya:

Orang loman adalah orang yang tidak pernah mengecewakan orang yang pernah mempunyai kepinginan.

Wa qila: lan den dawuhaken. Al-Karimu: utawi sing diarani wong loman iku, alladzi: wong. La yukhoyibu: kang ora tahu ngecewaaken sopo wong. Mengecewakan, rojaal muamilin: ing pengarep-arepe piro-piro wong kang duweni kepinginan. Yang dikatakan orang loman itu adalah orang yang tidak pernah mengecewakan orang yang mempunyai kepinginan. Kepinginan apa saja dituruti.

Tanamlah Akumu di Dalam Bumi Kesamaran


Kita sadar bahwa amal itu hanya seperti gambar. Hakekat dan ruh amal itu adalah ikhlas. Ikhlas itu murni. Murni itu tanpa campuran. Tanpa campuran itu artinya tidak ada yang ikut campur dalam tujuannya dan rasanya.

Murni dalam tujuan berarti ikhlasnya abror. Murni di dalam rasa berarti ikhlasnya muqorrobin.

Jika amal tanpa ikhlas sama sekali ibaratnya seperti jasmani tanpa roh, dan seperti gambar tanpa makna

Jika kita ingin belajar ikhlas, lepas dari riya, lepas dari ujub, lepas dari perasaan yang selain Allah, Syekh Ahmad Ibnu Athoilah As-Sakandari memberikan petunjuk:

اِدْفِنْ وُجُوْدَكَ فِي اَرْضِ اْلخُمُوْلِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يُدْفَنْ لاَيَتِمُّ نِتَاَجُهُ

Artinya: Tanamlah dirimu pada bumi penyamaran, karena sesuatu yang tumbuh dengan tanpa ditanam, buahnya tidak akan sempurna.

Supaya bisa ikhlas harus menanam wujud yang berupa pengakuan-pengakuan. Wujud diri harus ditanam. Di tanam itu ada, tetapi tidak tampak. Menanam wujud di dalam bumi penyamaran itu maksudnya, aktifitas amal harus tetap di jalankan tetapi pengakuan amal itu dilemparkan kepada Allah, apabila bisa.